“Skandal Rekrutmen THL di Tapanuli Selatan: Kadis Kesehatan Diduga Lakukan Pungli Bernilai Fantastis, Kepada 279 Orang Tenaga Harian Lepas”

(Taput, Sumatera Utara) — Dr. Rudi Iskandar, M.Kes, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Selatan, menjadi sorotan setelah muncul dugaan praktik melawan hukum dalam proses pengangkatan Tenaga Harian Lepas (THL) di instansinya. Kasus yang kini sedang diselidiki oleh aparat penegak hukum setempat ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap layanan kesehatan di wilayah tersebut, terutama di tengah isu krusial seperti keterbatasan tenaga medis dan distribusi layanan yang belum merata.

Berdasarkan laporan internal yang bocor ke publik, proses rekrutmen THL di Dinas Kesehatan Taput diduga tidak transparan dan melanggar prosedur resmi pemerintah. Sejumlah pihak mengklaim adanya indikasi nepotisme, pemerasan, hingga “pungutan liar” terhadap calon tenaga harian. THL sendiri merupakan pekerja kontrak berupah rendah yang umumnya diisi oleh tenaga non-medis hingga administratif, namun vital dalam operasional dinas.

Kepala Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Tapanuli Selatan, Marlon Sitanggang, membenarkan bahwa pihaknya telah menerima laporan dan sedang mengumpulkan bukti. “Kami menemukan sejumlah ketidaksesuaian antara dokumen rekrutmen dengan fakta di lapangan, termasuk ketiadaan pengumuman lowongan resmi dan ketidakjelasan kriteria seleksi,” ujarnya kepada awak media,

Dr. Rudi Iskandar, yang juga merupakan figur berpengaruh di lingkup kesehatan Sumatera Utara, membantah semua tuduhan. “Semua proses rekrutmen THL dilakukan sesuai aturan dan kebutuhan mendesak di lapangan, terutama di masa pandemi. Kami siap berkoordinasi dengan penyidik untuk klarifikasi,” tegasnya. Namun, ia enggan merinci lebih jauh dokumen pendukung, menyebut hal itu menjadi wewenang tim investigasi.

Kasus ini memantik reaksi keras dari sejumlah LSM dan kelompok masyarakat. Koordinator LSM Transparansi Taput, Siska Manurung, menilai praktik rekrutmen ilegal di instansi pemerintah adalah “penyakit kronis” yang menggerogoti tata kelola daerah. “Jika kepala dinas saja bermain kotor, bagaimana masyarakat bisa percaya layanan kesehatan mereka adil dan berkualitas?” tanyanya.

Kekhawatiran juga muncul dari kalangan tenaga kesehatan honorer yang selama ini merasa “dipermainkan” sistem kontrak. Seorang THL yang enggan disebut namanya mengaku hanya diterima bekerja setelah membayar sejumlah uang kepada oknum di dinas. “Saya takut dipecat jika bicara, tapi ini sudah rahasia umum,” ujarnya.

Jika terbukti melanggar, Dr. Rudi bisa dijerat Pasal 21 UU Tipikor tentang gratifikasi atau Pasal 423 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang. Sanksi maksimalnya mencapai 5 tahun penjara. Namun, pengamat hukum publik Universitas Sumatra Utara, Dr. Rio Siregar, mengingatkan bahwa kasus ini perlu dibuktikan secara konkret. “Pemerintah daerah harus transparan mengungkap proses rekrutmen, termasuk daftar penerima THL dan alasan pengangkatannya,” tegasnya.

Bawasda Taput menyatakan akan mengaudit seluruh dokumen rekrutmen THL dalam 5 tahun terakhir dan berkoordinasi dengan Kejaksaan Negeri setempat. Sementara itu, masyarakat menunggu sikap tegas Bupati Tapanuli Selatan, Syahrul M. Pasaribu, untuk memastikan kasus ini tidak ditutup-tutupi.

Tingginya angka pengangguran dan minimnya lapangan kerja di Taput membuat kasus ini kian sensitif. Rekrutmen THL kerap menjadi “celah” bagi oknum untuk memanipulasi harapan warga miskin yang putus asa mencari pekerjaan. Jika dugaan ini benar, bukan hanya kredibilitas Dr. Rudi yang hancur, tetapi juga masa depan ratusan tenaga honorer yang terombang-ambing antara keadilan dan kebutuhan hidup.

Investigasi lanjutan masih terus berjalan. Simak perkembangan terkininya hanya di media ini. (red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *