TADARUS PUISI YANG INDAHPADA “MALAM 1000 BULAN” DI TIM“

Penulis: Yanto_Qwil
Jakarta – GLOBALINDONESIA.INFO

tujuh puncak membilang-bilang/nyeri hari mengucap-ucap/di butir pasir kutulis rindu rindu/walau huruf habislah sudah/alif bataku belum sebatas allah” Puisi Sutardji Calzoum Bachri yang bertajuk “Walau” dibacakan oleh penyair dan deklamator nasional, Imam Maarif, dengan tampilan ekspresifnya yang khas, pada acara “Syukuran Ramadhan : Malam 1000 Bulan” yang dihelat oleh Masyarakat Penggiat Seni Indonesia, Federasi Pekerja Seni Indonesia (FPSI), bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, tadi malam, Sabtu (8/4-2023), di halaman Posko #saveTIM, di kawasan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki.

Meski sempat diguyur hujan pada sore hari, sejumlah seniman dan aktivis kebudayaan memenuhi tempat berhimpun Forum Seniman Peduli TIM, yang biasanya dihangatkan dengan diskusi soal-soal kesenian itu.

Tampaknya juga hadir, Effendi Saman, SH, yang selama ini mendampingi para seniman, sebagai kuasa hukum di PTUN dan Mahkamah Agung. Acara yang dimulai dengan berbuka puasa bersama, diselenggarakan tepat pada tanggal 17 Ramadhan, dengan mengambil momen peringatan turunnya kitab suci Al Quran (Nuzulul Quran) dan malam „lailatul qadar‟.

Ketua Umum MPSI, Mujib Hermani, menyebutkan bahwa acara syukuran Ramadhan sudah menjadi tradisi di kalangan seniman, khususnya yang bergiat di TIM. “Ini tradisi yang kami gelar setiap bulan Ramadhan. Semacam acara silaturahmi, sambil berbuka puasa bersama.

Sudah dimulai sejak Ramadhan tiga tahun lalu. Acaranya, biasanya diisi dengan diskusi ringan, dan juga penampilan para penyair dan pembaca puisi,” ujarnya.

“Kami mengundang para seniman dan budayawan yang peduli terhadap persoalan kesenian. Dari berbagai wilayah di Jakarta ini. Merekamewakili bidang-bidang seni, seperti sastra, musik, teater. Semacam konsolidasi semangat, tapi dalam suasana religi yang sejuk,” tambah David Karo-karo, Koordinator Acara.

Budayawan Taufik Rahzen, yang sengaja hadir pada acara itu, didaulat oleh para seniman untuk menyampaikan „kultum‟ tentang makna malam 1000 bulan dan kaitannya dengan soal-soal kebudayaan.

Tradisi malam 1000 bulan, menurut Taufik, dapat dimaknai sebagai gambaran tentang waktu yang tak berhingga. Yang tidak ada masa lalu, masa kini, dan masa datang, sebagaimana dipahami manusia.

Bahwa waktu yang tak berhingga itu bisa ditempuh, diterobos, melalui satu momen yang sangat singkat. Momen itu adalah malam „lailatur qadar.‟Dari sana, kalam, ketika yang sabda, kemudian menjadi nyata. Ditandai dengan perintah „Iqra,‟ Bacalah, sebagai sabda Allah.

Lebih lanjut, dengan menggunakan perspektif ontologis dan epistemologis, Taufik menjelaskan kalam alif, lam, mim di dalam Al Quran, yang sesungguhnya tak mengandung penjelasan itu.

Budayawan kelahiran Sumbawa, yang dalam separuh perjalanan hidupnya mengembara, menziarahi berbagai tempat suci di Baghdad, Yerusalem, Tibet, India, kuil-kuil di Jepang, hingga jejak masa silam di Athena itu, secara sepintas mendedahkan tafsir tentang rahasia yang terkandung dalam kalam alif, lam, mim.

Ia mengingatkan pentingnya membaca alam sebagai semesta maha luas yang tak terbatas, menimba ilmu, dan melaksanakan amal. Amal sebagai pelaksanaan dari ilmu, termasuk di dalamnya mengembangkan seni dan kebudayaan. Yangbersifat dinamis, yang memberi nyawa bagi semangat perubahan.

Bagi pemajuan peradaban manusia. Semangat perubahan itu, menurut Taufik, dapat pula dibaca dari spirit dan pergerakan para seniman yang memperjuangkan #saveTIM selama ini.

Selain kuliah singkat itu, kumpulan Shalawat Perkusi “Hadrah Nuurussagaf” dari Tangerang turut pula memeriahkan acara. Dilanjutkan dengan pembacaan puisi yang mengalirkan suasana perenungan yang khidmat. Selain Imam Maarif, acara tadarus puisi diisi oleh para penyair, aktor, dan deklamator nasional. Bergantian mengisi panggung: Exan Zen, Imam Maarif, Nuyang Jaimee, Rini Kreet, Tatan Daniel, Moktavianus Masheka, Jose Rizal Manua, Ical Vrigar, dan Iwan Cipta Saputra, dan Joind Bayuwinanda.

Acara syukuran yang dipandu Sari Chikata, ditutup dengan pembacaan puisi oleh Joind Bayuwinanda, dramawan yang pernah menyabet gelar sebagai aktor terbaik pada Festival Teater Jakarta, yang pentas monolognya ketika memerankan Tan Malaka, beberapa waktu lalu, “Saya Rusa Berbulu Merah,” diselenggarakan dengan penjagaan ketat pihak kepolisian.

Joind membacakan puisi Sutardji Calzoum Bachri yang bertajuk “Sajak Hemat”: dari hari ke hari/bunuh diri pelan pelan/dari tahun ke tahun/bertimbun luka di badan/maut menabungku/segobang segobang.(Rel)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *